Serangkum Sinar
Tiba-tiba Cindy merasa seperti terpencil di tengah hiruk-pikuknya ruang tunggu Bandara Soekarno- Hatta. Orang-orang hilir-mudik. Sementara dari landasan, suara mesin pesawat terdengar memekakan telinga. Cindy duduk menunggu pesawat yang akan membawanya ke Surabaya. Sebuah Beauty case dan koran pagi menemaninya dengan setia. Di sudut sana, sepasang muda-mudi saling berpegangan mesra sambil sesekali berbisik-bisik dan tertawa. Di sudut lain, seorang pria bergaya businessman nampak asyik dengan pipa mahalnya.
Pagi itu penumpang jurusn Surabaya tidak begitu banyak. Mungkin hanya separuh dari kursi yang tersedia akan terisi. Begitu yang ia dengar dari salah seorang petugas. Tentu saja cindy senang. Sebab didalam pesawat yang tidak begitu penuh, cindy bias leluasa memilih tempat duduk. Lagi pula, saat-saat seperti itu, cindy ingin sendirian sepanjang waktu.
Ya, sejak pertengkaran dengan Rico terjadi, tiba-tiba cindy selalu ingin menikmati kehidupannya sendirian. Pergi sendiri ke tempat-tempat yang ia sukai, memikirkan segala poblema sendirian dan melakukan apa saja sendirian. Diakuinya, Rico sebenarnya lelaki yang baik. Karena itulah dia jatuh cinta dan bersedia menjadi pacarnya. Sebagai seorang pengusaha muda yang sukses, ia telah memberi apa saja untuknya. Sebuah mobil di berikan Rico untuk Cindy.
Rico juga amat memanjakannya. Sejak awal meraka pacaran, ia seolah memberikan surga kehidupan untuk cindy. Tapi kebahagiaan itu tak berlangsung kekal. Setelah meninggalnya Ibu Rico, orangtua Rico satu-satunya setelah ayahnya meninggal lebih dahulu 5 tahun sebelumnya. Surga yang senantiasa melingkupi kehidupan mereka, seolah pudar dan lenyap. Rico berubah menjadi pendiam, jarang tertawa dan sering menunjukkan wajah muram.
Mula-mula tentu saja cindy sedikit curiga. Siapa tahu ada wanita lain yang muncul dalam kehidupannya. Tapi sia-sia saja. Cindy tak pernah mendapatkan bukti-bukti bahwa Rico selingkuh. Lalu apa sebenarnya yang telah terjadi ? Apakah cindy telah berbuat kesalahan tanpa disadarinya selama ini ?
Cindy pernah bertanya tentang semua ini. Tapi Rico tak menjawab dengan jelas. “Tak apa-apa, Cin. Aku hanya terlalu lelah bekerja. Pekerjaan kantor semakin hari rasanya semakin bertambah, dan aku tak ingin membiarkannya terbengkalai.”
“Kalau begitu, kenapa kamu tak ambil cuti saja dan beristirahat ? Barangkali kita bisa berlibur bersama-sama ke Pulau Bali, “usulnya.
“Hmm…. baiklah. Minggu depan akan kuusahakan usulmu itu.”
Namun minggu depannya, bukan cuti yang ia ambil. Malahan ia pergi ke Medan untuk bertemu rekannya disana.
Untuk mengisi waktu, cindy menyibukkan diri dengan kursus bahasa dan aktif di organisasi-organisasi sosial. Kegiatan-kegiatan inilah yang menyelamatkannya dari frustrasi.
Cindy tersentak dari lamunan, ketika seorang petugas menepuk bahunya dengan lembut.
“Nona penumpang jurusan Surabaya, bukan ?” sapanya ramah.
“Ya, ya… ” Cindy tergagap dan segera mengemasi barang-barang. Dilihatnya penumpang-penumpang lain sudah berbaris dipintu keluar menuju pesawat.
Akhirnya, pesawat pun lepas landas. Di bawah sana, kota Jakarta yang hiruk-pikuk, tampak semakin jauh tertinggal. Suara merdu seorang pramugari terdengar lewat pengeras suara, menjelaskan hal-hal rutin dalam penerbangan.
Pikirannya melayang ke rumah, sibuk menerka-nerka apa yang sedang dikerjakan Rico saat ini. Mungkin sedang sibuk kerja atau menelepon relasi. Atau…. ah entahlah, cindy berusaha keras menghilangkan ingatannya pada Rico.
Pesawat mendarat dengan mulus di Bandara H. Juanda. Serangkum sinar mentari hangat menyambutnya saat turun dari tangga pesawat. Di luar bandara, seorang sopir taksi menyambutnya dengan ramah, membantu membawakan tasnya ke dalam taksi. Dihenyakkan tubuhnya di tempat duduk belakang.
“Kemana, Nona ?” tanyanya sambil menyalakan mesin mobil.
Disebut nama sebuah hotel berbintang lima. Cindy tak tahu apakah dengan menginap di sebuah hotel mahal berarti ia telah melakukan satu pemborosan ? Namun yang pasti, cindy seolah mendapatkan kebebasan yang menyenangkan. Kebebasan ? Ah, benarkah itu ?
Kebingungan yang menyiksa benaknya baru terhapus ketika ia sudah merasakan sejuknya air kolam renang hotel di tengah hari yang terik. Hampir satu jam cindy berada di kolam renang itu, sebelum akhirnya ia duduk santai di bangku cafeteria.
Musik lembut sayup-sayup terdengar, bagai mengusap-usap hatinya. Dilayagkan pandangannya ke wajah-wajah yang ada di sekitar kolam renang. Pandangannya terpaut pada seraut wajah yang duduk sendirian di dekat bar. Sosok itu sangat dikenalnya. Benarkah itu Arya ? Temannya di SMA dulu ?
Masih diingat, Arya pernah menulis surat cinta untuknya. Tapi surat yang ditulisnya itu dibuang cindy ke tong sampah. Kalau mengingat itu, cindy jadi ingin tertawa sendiri. Setelah lulus, mereka tak pernah berjumpa lagi. Dan kini, tiba-tiba ia berada disini. Tapi benarkah itu Arya ?
Entah kenapa, tiba-tiba saja cindy sudah berdiri di dekatnya. Arya pun menoleh kea rah cindy.
“Hey, Cindy!” serunya terkejut. Dijabatnya tangan Cindy dengan erat.
“Tak kusangka berjumpa denganmu disini. Liburan ?”
“Ya, dan kau ?”
“Ah, lagi iseng saja. Mau minum apa ? orange jus ?”
Cindy mengangguk saja sambil memperhatikan betapa pria ini telah berubah. Sudah tak pendiam lagi seperti dulu.
“Kau banyak berubah sekarang, Arya, “ kataku kemudian.
“Ah, masa ? Aku tak merasakan itu. Mungkin karena kita baru bertemu saja. Oh ya, mana pacarmu ?”
Cindy tersenyum kecut.
“Aku sendirian saja, Arya. Pacarku sedang sibuk. Aku juga baru datang dari Jakarta beberapa jam lalu.”
“Ah, kenapa kita tak jumpa tadi ? Aku pun ada dalam pesawat itu !”
Cindy mengernyitkan dahinya. Ah, masa ? Bukankah tadi penumpang hanya sedikit, dan bisa terlihat semuanya ? Tapi kenapa tak kulihat Arya ?
“Hmm….maksudku, aku ada di cockpit. Yang mengemudikan pesawat itu.”
“Oh, jadi kau pilot yang menerbangkan pesawat itu ?”
“Ya, setelah kita lulus SMA, aku mendaftar ke curug dan kebetulan diterima,”katanya tertawa.
“Kau tentu sudah beristri sekarang.”
“Oh, masih sendiri, Cin. Rasanya susah mencari seorang wanita yang sreg buatku,”ucapnya setengah mendesah.” Kadang-kadang aku iri dengan kebahagiaan orang lain. Seperti kebahagiaanmu, misalnya.
Cindy terperangah mendengar kata-kata itu. Bahagia ? Ia tak tau apa yang sesungguhnya cindy alami. Tanpa terasa setetes air mata mengalir turun membasahi pipiku. Arya melihatnya. Lalu ia memegang bahu cindy dengan cemas.
“Kau sakit ?”tanyanya.
Cindy menggeleng. Diseka air matanya. Beberapa saat kemudian cindy mulai menceritakan semua yang terjadi pada dirinya. Entah kenapa, cindy jadi mengadukan segalanya kepada Arya. Mungkin karena cindy sudah tak tahan lagi memendamnya. Arya membiarkan Cindy bicara hingga selesai.
“Begitulah, Arya. Dari luar mungkin aku nampak berbahagia. Tetapi sesungguhnya………”
Ia menghela napas panjang.
“Pacarmu nampak mengalami depresi sejak ibunya meninggal dunia. Dan ia berusaha mencari pelarian pada pekerjaan kantornya.”
“Ya, aku mengerti itu. Seperti halnya dia, aku pun merasa sedih dan berduka. Tetapi harus jadi sedemikian berlarut-larut ?”
“Sabarlah,”katanya.
“Aku sudah cukup bersabar,Arya.”
“Tapi kau mengambil tindakan yang salah. Kepergianmu ini malah memperkeruh situasi. Pasti saat ini dia tengah menyesali kepergiaanmu.”
“Tidak mungkin. Ia lebih senang memikirkan pekerjaannya daripada diriku,”kata Cindy ketus.
Arya tersenyum. “Nah engkau mulai emosi lagi.”
Cindy menatap matanya yang jernih dan sejuk. “Maafkan aku, Arya. Aku memang sedang bingung dan kalut.”
“Aku mengerti. Tapi ingatlah, kau bukan anak-anak lagi. Kau sudah dewasa,” ucapnya.
Dalam hati, Cindy membenarkan apa yang dikatakan Arya itu. Masa-masa remaja Cindy memang sudah kelewat jauh.
“Apa yang harus kulakukan,Arya ?” tanyanya pelan.
“Ini masalah kalian. Tentu saja aku tak ingin ikut campur. Tapi engkau mencintainya ‘kan ? Ia pun mencintaimu. Aku yakin ia sama sekali tidak bermaksud mengesampingkan dirimu. Ia hanya ingin mencari pelarian, itu saja.”
Cindy terdiam. Entah mengapa ucapan Arya dengan mudah ia terima dan pahami. Mungkinkah karena kelembutannya atau ketenangannya yang mampu mendinginkan gejolak emosi cindy ? Atau mungin dalam sanubarinya tak pernah ada niatan untuk berpisah dari Rico ? Entahlah.
***
Hari masih pagi ketika telepon disamping tempat tidurnya bordering. Pukul 07.15. Siapa yang meneleponnya sepagi ini ? Dengan cepat diangkatnya gagang telepon itu. Terdengar suara lembut di seberang sana. Suara yang amat dikenalnya. Suara Rico !
“Halo, sayang….sudah bangun tidur ?”sapanya. Cindy tersentak. Tak tahu harus berkata apa. Kenapa ia tahu Cindy menginap di hotel ini ? Rasanya ingin diletakkan gagang telepon ditempatnya, kalau tak ingat nasihat Arya kemarin.
Tanpa ia sadari, Cindy pun menjawab. “Ya, saying. Aku baru bangun tidur.”
“Aku minta maaf padamu, Cin. Seharusnya kejadian ini tak perlu terjadi. Tapi sudahlah, besok aku akan menjemputmu pulang. Tanpamu disisku, rasanya sepi.”
Air matanya hendak tumpah mendengar kata-kata itu.
“Aku juga minta maaf mas. Aku juga bersalah telah pergi meninggalkanmu,”ucapnya serak.
“Ya, aku cemas sekali, Cin. Aku mencarimu ke mana-mana. Tapi untung, salah seorang temanmu memberitahukan bahwa kau ada di hotel ini.”
“Maksud Mas, Arya ?”
“Ya, Dia menceritakan segalanya tentang kau. Karena itu aku sadar bahwa sikapku selama ini amat keliru. Tapi sudahlah, kita akan……”
Tak terdengar lagi apa yang dikatakan Rico selanjutnya karena Cindy telah tenggelam dalam lautan air mata bahagia. Diam-diam Cindy pun mengucapkan terima kasih pada Arya. Ia telah mengembalikan kebahagiaan mereka seperti dulu.
***
Ya, sejak pertengkaran dengan Rico terjadi, tiba-tiba cindy selalu ingin menikmati kehidupannya sendirian. Pergi sendiri ke tempat-tempat yang ia sukai, memikirkan segala poblema sendirian dan melakukan apa saja sendirian. Diakuinya, Rico sebenarnya lelaki yang baik. Karena itulah dia jatuh cinta dan bersedia menjadi pacarnya. Sebagai seorang pengusaha muda yang sukses, ia telah memberi apa saja untuknya. Sebuah mobil di berikan Rico untuk Cindy.
Rico juga amat memanjakannya. Sejak awal meraka pacaran, ia seolah memberikan surga kehidupan untuk cindy. Tapi kebahagiaan itu tak berlangsung kekal. Setelah meninggalnya Ibu Rico, orangtua Rico satu-satunya setelah ayahnya meninggal lebih dahulu 5 tahun sebelumnya. Surga yang senantiasa melingkupi kehidupan mereka, seolah pudar dan lenyap. Rico berubah menjadi pendiam, jarang tertawa dan sering menunjukkan wajah muram.
Mula-mula tentu saja cindy sedikit curiga. Siapa tahu ada wanita lain yang muncul dalam kehidupannya. Tapi sia-sia saja. Cindy tak pernah mendapatkan bukti-bukti bahwa Rico selingkuh. Lalu apa sebenarnya yang telah terjadi ? Apakah cindy telah berbuat kesalahan tanpa disadarinya selama ini ?
Cindy pernah bertanya tentang semua ini. Tapi Rico tak menjawab dengan jelas. “Tak apa-apa, Cin. Aku hanya terlalu lelah bekerja. Pekerjaan kantor semakin hari rasanya semakin bertambah, dan aku tak ingin membiarkannya terbengkalai.”
“Kalau begitu, kenapa kamu tak ambil cuti saja dan beristirahat ? Barangkali kita bisa berlibur bersama-sama ke Pulau Bali, “usulnya.
“Hmm…. baiklah. Minggu depan akan kuusahakan usulmu itu.”
Namun minggu depannya, bukan cuti yang ia ambil. Malahan ia pergi ke Medan untuk bertemu rekannya disana.
Untuk mengisi waktu, cindy menyibukkan diri dengan kursus bahasa dan aktif di organisasi-organisasi sosial. Kegiatan-kegiatan inilah yang menyelamatkannya dari frustrasi.
Cindy tersentak dari lamunan, ketika seorang petugas menepuk bahunya dengan lembut.
“Nona penumpang jurusan Surabaya, bukan ?” sapanya ramah.
“Ya, ya… ” Cindy tergagap dan segera mengemasi barang-barang. Dilihatnya penumpang-penumpang lain sudah berbaris dipintu keluar menuju pesawat.
Akhirnya, pesawat pun lepas landas. Di bawah sana, kota Jakarta yang hiruk-pikuk, tampak semakin jauh tertinggal. Suara merdu seorang pramugari terdengar lewat pengeras suara, menjelaskan hal-hal rutin dalam penerbangan.
Pikirannya melayang ke rumah, sibuk menerka-nerka apa yang sedang dikerjakan Rico saat ini. Mungkin sedang sibuk kerja atau menelepon relasi. Atau…. ah entahlah, cindy berusaha keras menghilangkan ingatannya pada Rico.
Pesawat mendarat dengan mulus di Bandara H. Juanda. Serangkum sinar mentari hangat menyambutnya saat turun dari tangga pesawat. Di luar bandara, seorang sopir taksi menyambutnya dengan ramah, membantu membawakan tasnya ke dalam taksi. Dihenyakkan tubuhnya di tempat duduk belakang.
“Kemana, Nona ?” tanyanya sambil menyalakan mesin mobil.
Disebut nama sebuah hotel berbintang lima. Cindy tak tahu apakah dengan menginap di sebuah hotel mahal berarti ia telah melakukan satu pemborosan ? Namun yang pasti, cindy seolah mendapatkan kebebasan yang menyenangkan. Kebebasan ? Ah, benarkah itu ?
Kebingungan yang menyiksa benaknya baru terhapus ketika ia sudah merasakan sejuknya air kolam renang hotel di tengah hari yang terik. Hampir satu jam cindy berada di kolam renang itu, sebelum akhirnya ia duduk santai di bangku cafeteria.
Musik lembut sayup-sayup terdengar, bagai mengusap-usap hatinya. Dilayagkan pandangannya ke wajah-wajah yang ada di sekitar kolam renang. Pandangannya terpaut pada seraut wajah yang duduk sendirian di dekat bar. Sosok itu sangat dikenalnya. Benarkah itu Arya ? Temannya di SMA dulu ?
Masih diingat, Arya pernah menulis surat cinta untuknya. Tapi surat yang ditulisnya itu dibuang cindy ke tong sampah. Kalau mengingat itu, cindy jadi ingin tertawa sendiri. Setelah lulus, mereka tak pernah berjumpa lagi. Dan kini, tiba-tiba ia berada disini. Tapi benarkah itu Arya ?
Entah kenapa, tiba-tiba saja cindy sudah berdiri di dekatnya. Arya pun menoleh kea rah cindy.
“Hey, Cindy!” serunya terkejut. Dijabatnya tangan Cindy dengan erat.
“Tak kusangka berjumpa denganmu disini. Liburan ?”
“Ya, dan kau ?”
“Ah, lagi iseng saja. Mau minum apa ? orange jus ?”
Cindy mengangguk saja sambil memperhatikan betapa pria ini telah berubah. Sudah tak pendiam lagi seperti dulu.
“Kau banyak berubah sekarang, Arya, “ kataku kemudian.
“Ah, masa ? Aku tak merasakan itu. Mungkin karena kita baru bertemu saja. Oh ya, mana pacarmu ?”
Cindy tersenyum kecut.
“Aku sendirian saja, Arya. Pacarku sedang sibuk. Aku juga baru datang dari Jakarta beberapa jam lalu.”
“Ah, kenapa kita tak jumpa tadi ? Aku pun ada dalam pesawat itu !”
Cindy mengernyitkan dahinya. Ah, masa ? Bukankah tadi penumpang hanya sedikit, dan bisa terlihat semuanya ? Tapi kenapa tak kulihat Arya ?
“Hmm….maksudku, aku ada di cockpit. Yang mengemudikan pesawat itu.”
“Oh, jadi kau pilot yang menerbangkan pesawat itu ?”
“Ya, setelah kita lulus SMA, aku mendaftar ke curug dan kebetulan diterima,”katanya tertawa.
“Kau tentu sudah beristri sekarang.”
“Oh, masih sendiri, Cin. Rasanya susah mencari seorang wanita yang sreg buatku,”ucapnya setengah mendesah.” Kadang-kadang aku iri dengan kebahagiaan orang lain. Seperti kebahagiaanmu, misalnya.
Cindy terperangah mendengar kata-kata itu. Bahagia ? Ia tak tau apa yang sesungguhnya cindy alami. Tanpa terasa setetes air mata mengalir turun membasahi pipiku. Arya melihatnya. Lalu ia memegang bahu cindy dengan cemas.
“Kau sakit ?”tanyanya.
Cindy menggeleng. Diseka air matanya. Beberapa saat kemudian cindy mulai menceritakan semua yang terjadi pada dirinya. Entah kenapa, cindy jadi mengadukan segalanya kepada Arya. Mungkin karena cindy sudah tak tahan lagi memendamnya. Arya membiarkan Cindy bicara hingga selesai.
“Begitulah, Arya. Dari luar mungkin aku nampak berbahagia. Tetapi sesungguhnya………”
Ia menghela napas panjang.
“Pacarmu nampak mengalami depresi sejak ibunya meninggal dunia. Dan ia berusaha mencari pelarian pada pekerjaan kantornya.”
“Ya, aku mengerti itu. Seperti halnya dia, aku pun merasa sedih dan berduka. Tetapi harus jadi sedemikian berlarut-larut ?”
“Sabarlah,”katanya.
“Aku sudah cukup bersabar,Arya.”
“Tapi kau mengambil tindakan yang salah. Kepergianmu ini malah memperkeruh situasi. Pasti saat ini dia tengah menyesali kepergiaanmu.”
“Tidak mungkin. Ia lebih senang memikirkan pekerjaannya daripada diriku,”kata Cindy ketus.
Arya tersenyum. “Nah engkau mulai emosi lagi.”
Cindy menatap matanya yang jernih dan sejuk. “Maafkan aku, Arya. Aku memang sedang bingung dan kalut.”
“Aku mengerti. Tapi ingatlah, kau bukan anak-anak lagi. Kau sudah dewasa,” ucapnya.
Dalam hati, Cindy membenarkan apa yang dikatakan Arya itu. Masa-masa remaja Cindy memang sudah kelewat jauh.
“Apa yang harus kulakukan,Arya ?” tanyanya pelan.
“Ini masalah kalian. Tentu saja aku tak ingin ikut campur. Tapi engkau mencintainya ‘kan ? Ia pun mencintaimu. Aku yakin ia sama sekali tidak bermaksud mengesampingkan dirimu. Ia hanya ingin mencari pelarian, itu saja.”
Cindy terdiam. Entah mengapa ucapan Arya dengan mudah ia terima dan pahami. Mungkinkah karena kelembutannya atau ketenangannya yang mampu mendinginkan gejolak emosi cindy ? Atau mungin dalam sanubarinya tak pernah ada niatan untuk berpisah dari Rico ? Entahlah.
***
Hari masih pagi ketika telepon disamping tempat tidurnya bordering. Pukul 07.15. Siapa yang meneleponnya sepagi ini ? Dengan cepat diangkatnya gagang telepon itu. Terdengar suara lembut di seberang sana. Suara yang amat dikenalnya. Suara Rico !
“Halo, sayang….sudah bangun tidur ?”sapanya. Cindy tersentak. Tak tahu harus berkata apa. Kenapa ia tahu Cindy menginap di hotel ini ? Rasanya ingin diletakkan gagang telepon ditempatnya, kalau tak ingat nasihat Arya kemarin.
Tanpa ia sadari, Cindy pun menjawab. “Ya, saying. Aku baru bangun tidur.”
“Aku minta maaf padamu, Cin. Seharusnya kejadian ini tak perlu terjadi. Tapi sudahlah, besok aku akan menjemputmu pulang. Tanpamu disisku, rasanya sepi.”
Air matanya hendak tumpah mendengar kata-kata itu.
“Aku juga minta maaf mas. Aku juga bersalah telah pergi meninggalkanmu,”ucapnya serak.
“Ya, aku cemas sekali, Cin. Aku mencarimu ke mana-mana. Tapi untung, salah seorang temanmu memberitahukan bahwa kau ada di hotel ini.”
“Maksud Mas, Arya ?”
“Ya, Dia menceritakan segalanya tentang kau. Karena itu aku sadar bahwa sikapku selama ini amat keliru. Tapi sudahlah, kita akan……”
Tak terdengar lagi apa yang dikatakan Rico selanjutnya karena Cindy telah tenggelam dalam lautan air mata bahagia. Diam-diam Cindy pun mengucapkan terima kasih pada Arya. Ia telah mengembalikan kebahagiaan mereka seperti dulu.
***
0 komentar:
Posting Komentar